Kamis, 10 November 2011

arsitektur indonesia

Perjalanan Arsitektur di Indonesia
1 .Pendahuluan
Indonesia mewarisi tradisi membangun secara tradisional yang turun-temurun lintas generasi mengakomodasi kebutuhan masyarakat sesuai tingkat sosial-budaya yang berlaku dalam kelompoknya. Tradisi itu dengan bijak mampu memanfaatkan potensi alam sekitarnya, sekaligus tunduk pada keterbatasannya. Konteks lingkungan menjadi guru abadi yang senantiasa memberi pelajaran secara kolektif tentang cara membangun yang tepat.
1.1 Arsitektur pada masa sebelum penjajahan.
arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir di nusantara yang ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan Bondowoso. Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di Leuwilang, Matesih, Pasirangin. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial dan pasca kolonial). Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan pembangunan candi-candi. Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang ada di Indonesia, tidak ada yang lebih dari 150 tahun. tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan sebagai berikut :
- Arsitektur vernakular
- Arsitektur klasik atau candi
- Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam
- Arsitektur Kolonial
- Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)
II .Sejarah Perkembangan Arsitektur Vernakular Indonesia
II.1. Hubungan Austronesia dan Indonesia
Berdasarkan linguistik, kebanyakan orang Indonesia berbahasa Austronesia, suku bangsa ini memiliki kekayaan 700 - 800 bahasa tersebar pada banyak pulau di Asia Tenggara, termasuk pula Vietnam Selatan, Taiwan, Mikronesia, Polinesia dan Madagaskar. Selain kekayaan bahasa, juga memiliki kekayaan dari budaya materi seperti arsitektur. Budaya Austronesia diperkirakan berasal dari masyarakat yang hidup disepanjang sungai di Cina Selatan dan Vietnam utara sekitar pertengahan abad ke-4 SM. Persebaran orang-orang ini dari tanah leluhur berlangsung sekitar 6.000 tahun yang lalu, dan memuncak sekitar 500 M dengan menyebarkan penggunan bahasa Austronesia ke sekeliling dunia


Pengaruh budaya Austronesia terlihat dalam budaya materi, organisasi sosial, kepercayaan, mitos, dan bahasa. Pengaruh yang tampak dalam budaya materi adalah pengetahuan bercocok tanam padi, irigasi, beternak kerbau dan kambing, penggunaan logam yang sederhana, dan pelayaran. Termasuk pula budaya berburu, mendirikan megalit, upacara ritual kematian, berlayar, menenun, membuat gerabah juga peralatan kampak batu untuk bertukang dan sebagai peralatan memotong. Kearifan nenek moyang, mitos, animisme, penguburan mayat dalam peti, tempat pemujaan yang terletak di tempat yang tinggi merupakan pengaruh dalam kepercayaan. Tradisi monumen-monumen dari batu besar masih subur di beberapa tempat di Indonesia; yang paling menonjol di pulau Nias (pantai barat Sumatra) dan Sumba di kepulauan Nusa Tenggara. Banyak kosa kata dalam bahasa Austronesia saat ini mempunyai asal yang sama, misalnya kata rumah, di Jawa disebut omah, toraja ”banua”, di Roti (Nusa tenggara) ”uma”, minangkabau ” rumah”. Begitu pula halnya pengaruh dalam konsep dan bentuk rumah Austronesia di Indonesia, bagi orang Austronesia rumah bukan sekedar tempat tinggal, melainkan merupakan bangunan teratur berlambang yang menunjukkan sejumlah ide penting perwujudan keramat para leluhur, perwujudan fisik jatidiri kelompok, dunia kecil di jagad raya, dan ungkapan tingkat dan kedudukan sosial. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Rapoport, bahwa rumah pada masyarakat tradisional mengekspresikan hierarki status masyarakat dan budaya lokal.
II.2 Ciri dan karakteristik mendasar dari rumah austronesia yaitu terdiri atas bangunan persegi empat, berdiri di atas tiang-tiang, beratap ilalang. Pintu masuk berupa tangga yang ditakik dan ada perapian dengan rak di atasnya untuk kayu bakar dan penyimpanan. Bentuk dasar ini mengalami pembaharuan di daerah Austronesia dan ditemukan di rumah Batak, ”rumah gadang” di Minangkabau, ”rumah Tongkonan” di Toraja, dan ”rumah panjang” di dayak, Kalimantan. Pengaturan perlambang rumah di dalam rumah yang merupakan ciri lain dari rumah austronesia sering menggunakan pasangan koordinasi ruang yang berlawanan ”dalam” dan ”luar”, ”depan” dan ”belakang”, ”kiri” dan ”kanan” , ”timur” dan ”barat” dipetakan dalam kelompok sosial yang dikaitkan dengan hubungan erat antar jenis kelamin, sanak dan saudara, generasi muda dan tua, bahkan antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal, untuk membentuk opografi perlambang yang mengatur dan mewakili hubungan sosial ini.
1. Perlambangan dalam rumah austronesia nampak pada struktur dan bentuk atap menggambarkan berbagai macam bentuk dan simbol dari benda seperti kipas, perahu, dan tanduk kerbau yang mencerminkan kekuasaan dan nilai kesakralan. Simbol tersebut umumnya juga terdapat pada dinding penutup atap (gable-end). Status sosial atau hierarki dari rumah sering digambarkan dalam dekorasi yang ada di dinding penutup atap

III .Perkembangan arsitektur klasik atau candi

Kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara

Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad ke-8 hingga ke-10 yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu aliran Siwa, sementara dinasti Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau Vajrayana. Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa prasasti dan candi. Keluarga Sanjaya memiliki kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga Syailendra di bagian Selatan Jawa Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha Pembangunan candi terkait dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan agama Buddha dan Hindu di Indonesia. Terdapat ratusan prasasti-prasasti yang ditanda tangani oleh raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti prasasti. Prasasti dari kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur. Prasati ni berbentuk ‘yupa’. Yaitu tugu peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan tulisan yang digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 400 Masehi, prasasti ini menceritakan sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh seorang raja bernama Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang bercerita tentang kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus juga bercerita tentang bangunan suci (candi), bahkan ada nama candi di prasasti yang tidak bisa ditelusuri namanya dengan candi yang dikenal. Umumnya prasasti tersebut dibuat pada abad ke-9. Selain peninggalan prasasti, terdapat pula candi-candi yang didalamnya terdapat arca yang menjadi bukti keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Ada juga berita tentang keberadaan kerajaan tersebut berasal dari berita ekspedisi pada pendeta Buddha Tiongkok (Cina) ke nusantara misalnya berita dari pendeta I-Tsing yang menyebutkan keberadaan kerajaan Holing (Kaling), kerajaan-kerajaan di Sumatera : Tulang Bawang (Sumatera Selatan), Melayu (Jambi), dan Sriwijaya. Dari I-Tsing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan pusat kegiatan ilmiah agama Budha pada masa itu. Buku atau kitab kuno juga merupakan sumber informasi keberadaan kerajaan-kerajaan di masa lampau, seperti kitab Pararaton dan juga kitab Negarakertagama. Berikut adalah rangkuman dari berbagai sumber terhadap beberapa prasasti dan candi peninggalan kerajaankerajaan pada era Hindu dan Buddha atau sebelumnya.


IV . Arsitektur Pada Masa peradapan dan kebudayaan islam

IV.I Kerajaan Islam di Nusantara
Islam masuk ke Indonesia kurang lebih abad ke-13 sangat terkait dengan perkembangan perdagangan di wilayah Nusantara. Pada awalnya kedatangan Islam ke nusantara melalui pembauran para pedagang yang berasal dari Gujarat, sebuah wilayah di bagian barat India. Pada masa tersebut terdapat beberapa kota-kota pelabuhan seperti Barus, Pasai, Banten, Demak, Madura yang menjadi titik pertemuan dan penyebaran Islam di nusantara. Dalam ekspedisi Marco Polo dari Tiongkok ke Persia tahun 1292, kemudian singgah di Peureula’, bagian utara Sumatera (Aceh), pada waktu itu dijelaskan bahwa terdapat penduduk yang beragama Islam dan juga pedagang-pedagang dari India yang giat menyebarkan agama tersebut walaupun disekitar kota masih banyak yang belum memeluk Islam. Tak lama setelah persinggahannya tersebut, pada tahun 1297 di Samudra, sebuah kerajaan di Aceh, ditemukan makam raja Islam, salah satunya makam Sultan Malik al-Saleh. Dari bukti sejarah ini, disimpulkan bahwa Kerajaan Samudra menjadi kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Samudra menjadi pelabuhan niaga yang terpenting di Nusantara hingga akhir abad ke-14. Pada awal abad ke-15, Malaka timbul sebagai pusat perdagangan dan pangkal penyebaran agama Islam. Sementara di bagian Timur Nusantara timbul pula pusat kegiatan Islam, yaitu Ternate (1430) yang meluaskan ajaran Islam hingga ke pantai timur Sulawesi. Kejayaan Malaka mencapai daerah Riau (Kampar, Indragiri), akan tetapi tidak lama bertahan hingga Portugis menakhlukan Malaka pada tahun 1511. Di pulau Jawa, kerajaan Majapahit mendekati masa punjak kejayaannya dibawah pemerintahan raja Hayam Wuruk (1611). Demikian pula, Majapahit digantikan kedudukannya oleh Kerajaan Demak yang kemudian meluaskan agama Islam ke seluruh Jawa hingga bagian selatan Kalimantan sehingga tersebut kerajaan Mataram dan Banten menjadi kerajaan Islam yang besar setelah Demak. Pada abad ke-16 juga timbul kerajaan Brunei yang meluaskan ke Islaman hingga bagian barat Kalimantan, dan juga Filipina. Atas kegiatan orang-orang Bugis, maka Islam masuk ke Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara dan juga beberapa pulau di Nusa Tenggara. Kerajaan Goa menjadi kerajaan besar Islam pada masa itu. Dari Ternate (Kesultanan Ternate dan Tidore), Islam meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku, dan di daerah pantai Timur Sulawesi serta Sulawesi Utara. Demikianlah, hingga akhir abad ke 16, boleh dikata bahwa Islam telah tersebar dan mulai mengakar di Nusantara.
Penyebaran Islam keseluruh Kepulauan Indonesia terbagi dalam tiga tataolahsejarah berbeda (three dintinct historical processes), yang mana masing-masing dikaitkan dengan pola perkembangan. Pendirian negara Islam di Sumatera utara mencerminkan pemunculan pemerintah baru bukan melalui penakhlukan atau peralihan kerajaan yang ada. Namun di Jawa, penguasa Islam menggantikan kekuasaan politis raja Hindu. Elit politik baru tidak sepenuhnya merombak ideologi ataupun lambang penampilan luar penguasa lama; melainkan mereka sangat mempertahankan kesinambungan dengan masa sebelumnya seraya memperkuat peralihan dan perluasan pemerintahan Hindu terdahulu. Sementara di Indonesia timur (Kalimantan, Sulawesi dan Maluku), raja-raja dengan mudah beralih ke Islam, tidak ada perubahan berarti dalam hukum dasar negara (kerajaan).

IV.2 Pertumbuhan Kota-Kota Islam Awal

Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan kota pertama di Indonesia adalah peningkatan perdagangan kelautan Asia secara umum pada abad ke-13 dan ke-14. Pada masa itu, perdagangan rempahrempah dari nusantara ke beberapa negara Asia seperti India dan China mengalami kemajuan yang pesat sementara bangsa Eropa mulai menapak kakinya menguasai pusat pemasok utama rempah-rempah saat itu di Banda. Pusat kerajaan Hindu dan Budha yang sebelumnya menjadi tempat tujuan dan persinggahan dari pedagang dan biksu China maupun India seperti Sriwijaya/Palembang, Mataram dan Trowulan telah tumbuh menjadi pemukiman perkotaan. Disamping itu pusat kerajaan Islam yang tumbuh setelah pudarnya kejayaan kerajaan Hindu Budha menjadi bandar-bandar baru sebagai titik pintu masuk menuju perairan internasional bersamaan dengan perkembangan kota-kota pelabuhan yang mulai dikuasai oleh Potugis dan VOC. Bukti kebahasaan sering dikaitkan dengan kemunculan tradisi pemukiman perkotaan di Asia Tenggara. Sebutan Bandar sering digunakan untuk kota-kota pelabuhan saat itu, kata ini berasal dari bahasa Persia yang berarti ”pelabuhan dagang resmi” diterjemahkan secara bebas sebagai town dan city dalam bahasa Inggris, cicade (Portugis), stad (Belanda). Sementara, istilah ”kota” dalam babad tanah Jawi padanannya khita, kuta, kuto dan negeri, istilah yang sering digunakan sebelumnya pada masa Hindu. Sebutan kuto dalam beberapa sastra Jawa Kuno dan Jawa Peralihan juga dicantumkan seperti dalam Kitab Bomakywya, Ramayana, Bharatayuddha, dan Pararaton. Sebutan kuto ini memiliki persamaan dengan kata yang lazim didapatkan dalam bahasa Belanda sebagai burcht, kaasteel, vesting, vesterkte legerplaats. Kemudian dalam bahasa Hindi, ”kota” semula menggambarkan pemukiman bertembok atau benteng, tetapi kemudian menjadi pusat masyarakat, dan sekarang mencakup konsep kota Metropolitan. Dari bukti kebahasaan
tersebut diketahui ada dua model kota yang dilihat dari pola modern kehidupan kota yaitu pelabuhan dan benteng.

Tampaknya ada dua jenis kota yang muncul; pertama, kota sebagai pelabuhan dagang dengan pintu masuk menuju jalur perairan internasional, dan kedua, kota sebagai pusat administratif dengan daerah pertanian yang makmur. Kota yang terletak di pesisir dan muara-muara sungai besar disebut sebagai pusat Kerajaan Maritim berfungsi sebagai pelabuhan atau titik masuk dan keluar pelayaran seperti Sriwijaya/Palembang, Aceh/Pasai, Banten, Batavia, Banjarmasin, Semarang, Demak, Jepara, Gersik, Tuban, Surabaya, Makassar, Ternate dan Banda. Sedangkan kota jenis kedua, kota yang berada di pedalaman (hinterland) seperti Pagaruyung, Jambi dan Mataram. Perkembangan perdagangan monopoli rempah oleh Persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) juga mempengaruhi perkembangan kota-kota tersebut di atas pada masa pendudukan Belanda. Pertumbuhan kota dan permukiman pada kedua kota memiliki karakteristik dan pola sendiri. Kota pesisir di utara pulau Jawa dalam sejarah sangat berbeda dengan daerah pedalaman. Kota pedalaman dicirikan dengan kota dengan istana yang memiliki upacara yang rumit dengan arsitektur yang didasarkan pada penduduk yang bermata pencaharian utama pertanian. Sementara disepanjang pantai utara digambarkan sebagai masyarakat kosmopolitan dengan sederet bandar perdagangan yang lebih cenderung memandang ke luar daripada ke dalam. Perkembangan kota-kota pesisir ini mendapat dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda sehingga pada abad ke-17 berkembang pesat dapat dilihat dari perwujudan arsitekturnya. Kemajuan kota-kota tersebut selain didukung oleh faktor geografi, politik dan ekonomi, juga tidak terlepas dari faktor magis-religius atau unsur kosmologi. Seperti halnya pada pendirian kota kerajaan di Indonesia seperti Yogyakarta, Surakarta, Demak, Cirebon, Banten, dan lain-lain biasanya dihubungkan simbol meru dalam mitologi Hindu. Umumnya kota-kota di Jawa mengikuti poros utara-selatan. Dari beberapa keterangan, lukisan, map, terhadap beberapa kota tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa morpologi kotakota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara mempunyai ciri antara lain : ada yang berpagar keliling/benteng (Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Demak, Banten) ada juga yang tidak berpagar keliling (kota Majapahit, Aceh, Gersik, Tuban, Surabaya), pasar, tempat peribadatan (mesjid), perkampungan, kelompok bangunan keraton, tempat raja atau penguasa yang biasanya terletak di bagian selatan. Pembuatan pagar keliling masa itu ber fungsi sebagai benteng pertahanan terhadap gangguan dari luar kota. Selain itu, dari sudut ekonomi, pagar keliling diperlukan sebagai tempat pemungutan bea-cukai barang-barang dagangan yang keluar masuk kota. Biasanya perkampungan pendatang atau pedagang baik dari wilayah Indonesia yang lain, maupun dari Gujarat, Parsi, Arab, dan Cina (perkampungan dan pasar berada di luar pagar keliling. Pengelompokan perkampungan pendatang ada yang berdasarkan etnis dan ada juga yang berdasarkan pekerjaannya. Sehingga pada saat itu terdapat sebutan Kampung Melayu, Kampung Makasar, Bugis, Ternate, Banda, dan Banjar dan lain sebagainya. Demikian pula kampong pendatang dari luar wilayah Indonesia dikenal dengan nama kampung Gujarat, Arab, Benggala dan Cina. Di Aceh, kampung pendatang juga dikelompokkan berdasarkan pekerjaannya seperti kampung Pande ( tukang), begitu pula halnya di kota Cirebon, ada yang disebut dengan Panjunan, adalah sebutan untuk kampung para pembuat periuk belanga (a jun). Elemen lain dalam kota masa Islam awal adalah lebuh
agung atau alun-alun, lapangan yang terletak di tengah-tengah kota dan berfungsi sebagai tempat berkumpul atau upacara ritual kerajaan/kota dan kegiatan hiburan.


Perekembangan pesat pada kota-kota Pelabuhan dagang Islam Membentuk titik perhatian Utama pembaharuan arsitektur dan pembangunan kota saat itu, masyarakat pertanian melanjutkan penyesuaian susunan ruang sejenis ”mandala” pada zaman Hindu-Budha. Sementara itu, masjid menggantikan candi sebagai titik utama kehidupan keagamaan. Islam datang ke Indonesia tidak menyebabkan revolusi dalam gaya bangunan, sehingga peralihan dari zaman Hindu-Budha ke era Islam memberikan suatu warna eklektisme seperti halnya yang terlihat peninggalan yang tersisa pemakaman Imogiri di Yogyakarta, Masjid Kudus, Istana Keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Deli dan Ternate.

IV.3 Mesjid sebagai tempat suci

Berdasarkan uraian tentang kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam awal dijelaskan bahwa mesjid menjadi tempat peribadatan menggantikan fungsi candi pada masa tersebut. Letak mesjid di kota-kota pusat kerajaan di Jawa disebelah barat alun-alun dan tidak terpisahkan dari komponen inti kota yaitu keraton. Dahulu, pusat kota kerajaan terdiri dari bangunan keraton/istana, alun-alun, masjid, dan tempat tinggal para bangsawan. Dari keterangan dan data sejarah disebutkan bahwa pada sebuah kota pusat kerajaan terdapat beberapa buah mesjid disamping beberapa langgar atau surau atau meunasah. Biasanya inisitaif dari mendirikan mesjid mula-mula timbul dari sultan atau wali, diperkuat dengan unsurunsur tradisional yang memandang raja atau sultan dan wali sebagai orang-orang magis. Menurut babad, mesjid-mesjid kuno yang didirikan di bawah pimpinan Wali Sanga secara gotong royong adlah mesjid Agung Demak dan Mesjid Agung Cirebon. Di Sumatera, pendirian mesjid juga di inisiasi oleh Sultan atua Raja, begitu juga dari segi letak, seringkali dekat dengan istana. Pada awalnya mesjid didirikan sebagai tempat ibadaah, sejalan dengan perkembangan politik dan pemerintahan, mesjid juga digunakan sebagai pusat kehidupan masyarakat yang berhubungan urusan keagamaan seperti wakaf, peradilan, hukum Islam, zakat.

A. Kronologis perkembangan arsitektur masjid

Mesjid-mesjid kuno di Indonesia menunjukkan kekhasan yang membedakannya arsitektur mesjid-mesjid di negeri Islam. Mesjid-mesjid kuno pada awal perkembangan Islam yang mengadopsi konsep-konsep arsitektur Candi (Hindu/Budha), arsitektur lokal serta arsitektur Cina. Kekhasan gaya arsitektur mesjidmesjid kuno ini dinyatakan oleh bentuk atap tumpang atau bertingkat 2,3,5, dengan puncaknya dihiasi mustaka atau memolo, denahnya persegiempat atau bujursangkar dengan serambi di depan atau di
samping; fondasinya pejal dan tinggi, pada bagian depan atau samping terdapat parit berair (kulah) serta gerbang. Umumnya mesjid tua di Jawa berciri seperangkat empat tiang yang dikenal dengan saka guru seperti :
1. Masjid Menara Kudus, di Kudus,Jawa Tengah
2. Masjid Sendang Dawur di Lamongan, Cirebon
3. Masjid Mantingan di Jepara, Jawa Tengah
4. Masjid Lima Kaum, Tanah Datar di Sumatera Barat Surau Syeh Burhanuddin, di Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
5. Masjid Sultan Abdul Rahman, Kalimantan
6. Masjid Agung Anke di Jakarta
7. Masjid Sumenep di Madura
8. Mesjid Angke dan Marunda di Jakarta
9. Mesjid Agung Demak
10. Mesjid Agung Banten
11. Mesjid Baiturrahman pada masa Sultan Iskandar Muda
12. Mesjid di Ternate tahun abad ke 19 (sebelum perubahan)


Kemudian, sekitar awal abad ke-19, arsitektur mesjid-mesjid yang mendapat pengaruh arsitektur India, Timur Tengah dan Kolonial Belanda. Beberapa mesjid yang mendapat pengaruh gaya ini adalah :
a) Masjid Raya Baiturahman di Aceh
b) Masjid Raya Al Osmani di Labuhan, Deli
c) Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat
d) Masjid Raya Al Maksum di Deli, Medan
e) Masjid Agung di Palembang
f) Masjid Al Azhar di Jakarta
g) Masjid Agung Yogyakarta
h) Masjid Syuhada Yogyakarta
i) Masjid Agung di Banyuwangi





V .Sejarah Arsitektur Kolonial di Indonesia

Kolonialisasi wilayah Indonesia didahului oleh kemunduran dari pengaruh Majapahit yang berhasil mempersatukan Nusantara. Diawali dengan perdagangan bilateral yang dilakukan oleh Persekutuan Dagang Hindia Timur atau lebih dikenal dengan sebutan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) kemudian ekspansi ke penguasaan perdagangan dan wilayah. Sebelumnya ekspansi Portugis yang dipimpin oleh Alfonso De Albuquerque masuk melalui pendudukan yang dimulai di Malaka pada tahun 1511, setelah Malaka ditaklukan oleh Portugis, sasaran berikutnya adalah kepulauan Maluku yang berpusat di Pulau Banda dan Ternate dengan maksud menguasai perdagangan rempah yang sangat menguntungkan di Asia. Dimulai dengan perhubungan dagang dengan masyarakat setempat, Portugis dan Perusahaan Belanda yang dikenal dengan VOC lalu kemudian meluas pada hubungan kerjasama dengan raja-raja karena pada masa itu umumnya pemerintahan di Indonesia berbentuk Kerajaan. Sehingga pada akhirnya banyak rajaraja yang takhluk dan tunduk dengan pemerintahan kolonial yang disebut dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengukuhkan penguasaan perdagangan rempah di Nusantara, VOC mendirikan pos-pos dagang yang terdiri dari gudang, penginapan bagi pedagang utama (opperkoopsman) dan pegawainya di berbagai kota di wilayah Nusantara seperti Maluku, Banda, Batavia, dan Makassar. Namun hubungan yang bergejolak dengan penduduk asli dan saingan Eropa, memerlukan pertahanan dan tingkat kelengkapan bagi pos dagang tersebut, sehingga akhirnya VOC mendirikan benteng-benteng pertahanan di beberapa kota dagang tersebut, benteng tertua di pulau Banda didirikan ± tahun 1550. Kemudian setelah itu didirikan juga beberapa benteng-benteng lain seperti benteng di Ternate tahun 1576, benteng Victoria di Ambon pada tahun 1580, benteng di Banten tahun 1603, benteng di Batavia pada tahun 1619, dan benteng (Fort) Rotterdam di Makasar.1 Setelah VOC memindahkan pusat perdagangannya di Batavia (pulau Jawa) maka batu pertama dimulainya Arsitektur Kolonial menjadi kenyataan dengan didirikannya “Fort Batavia” yang kemudian berkembang pula kota Batavia sebagai merupakan cikal kota Jakarta sekarang ini.

A.Pembentukan Kota-kota kolonial di Indonesia
Setelah dilanda perang politik yang timbul dari perang Napoleon, administrasi VOC Hindia Belanda diganti oleh pemerintahan jajahan yang dipertanggungjawabkan ke Belanda tahun 1800. Pemerintahan jajahan baru ini meluaskan kekuasaannya ke kota dan pedalaman Nusantara. Kota-kota di Nusantara pada masa prakolonial dapat dikelompokkan menjadi dua tipe kota, yaitu :
1. Kota-kota perdagangan di daerah pesisir yang bersifat heterogen dan profan
2. Pusat-pusat kerajaan yang bersifat homogen dan sakral yang berada di tengah tengah daerah pedalaman yang agraris.

Menurut Santoso (1984, Bab IV)2, konsepsi yang menghubungkan elemen-elemen,pembentuk ruang pada kota tradisional Jawa, antara satu dengan yang lain digunakan 2 prinsip yaitu :
o Mikrokosmos-dualitis maksudnya setiap kota di Jawa dibagi atas dua bagian yaitu bagian profane disebelah utara dan bagian sakral disebelah selatan. Perwujudan konsep ini tampak dari penempatan benda secara simetris yang dimaksudkan sebagai lambang harmonis kehidupan, seperti penataan keraton dan elemen-elemen di sekelilingnya diupayakan simetris.
o Mikrokosmos-hierarkis maksudnya sebagai pengadaan ruang suci dengan tembok sebagai batas antara ruang dalam dan luar. Tembok pembatas ini bukan sekedar batas yang berfungsi sebagai penunjang keamanan atau batas teritorial, tetapi lebih merupakan struktur hubungan antara elemenelemen pembentuk ruang. Awalnya kota Kolonial Belanda berada di daerah pesisir yang dulunya merupakan kota-kota perdagangan yang telah terjadi sejak masa Hindu dan Islam seperti kota Ambon, Batavia (Jakarta), Banten, Cirebon, Palembang, Surabaya, Semarang, Ujung Pandang. Kemudian beberapa kota baru terbentuk selama masa kolonial Belanda seperti kota Bandung, Medan, Balikpapan, Malang dan lain sebagainya.
Kemudian Pemerintahan Hindia Belanda juga mengadopsi konsep kota-kota asli dengan ciri budaya Indonesia asli seperti kota Yogyakarta, Banten, Cirebon, Surakarta dan Banda Aceh. Pada kota-kota tersebut Pemerintah kolonial hanya menambah beberapa elemen atau fasilitas yang menunjang kekuasaan pemerintahan kolonial. Lodji, atau kantor residen biasanya terletak di sisi timur alun-alun, berhadapan dengan mesjid. Kemudian bangunan lain yang dibangun pemerintah Hindia Belanda yaitu penjara kota juga mengelilingi alun-alun. Pada masa itu Pemerintah kolonial membangun berbagai macam fasilitas kota bangunan pusat pemerintahan, perkantoran (kantor pos, bank, pengadilan) stasiun, taman, rumah sakit, gereja dan lain sebagainya di pusat kota-kota tersebut. Perpaduan khas antara unsur Belanda dan Indonesia merupakan ciri kha kota abad ke-19 teruatama di Jawa.

B. Perkembangan Arsitektur Kolonial Indonesia

Perkembangan Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dibagi atas 4 periode ( Helen Jessup:2, kutipan dari Ir. Handinoto dalam bukunya Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya) :

1. Abad 16 sampai tahun 1800-an
Waktu itu Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda, VOC. Arsitektur Kolonial Belanda selama periode ini cenderung kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda. Bangunan perkotaan orang Belanda pada periode ini masih bergaya Belanda dimana bentuknya cenderung panjang dan sempit, atap curam dan dinding depan bertingkat bergaya Belanda di ujung teras.3 Bangunan ini tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas, atau tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Kediaman Reine deKlerk (sebelumnya Gubernur Jenderal Belanda) di Batavia.


2. Tahun 1800-an (awal abad ke 19) sampai dengan tahun 1902
Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC. Setelah pemerintahan tahun 1811-1815 wilayah Hindia Belanda sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1865 oleh karena jarak yang jauh dan komunikasi yang sulit dengan Pemerintah Belanda sehingga perkembangan kemajuan arsitektur modern di Belanda tidak sampai gemanya ke Indonesia. Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh GubernurJenderal HW yang dikenal dengan the Empire Style, atau The Ducth Colonial Villa: Gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal, iklim dan material yang tersedia pada masa itu. Pada periode ini, gaya neo-klasik merupakan gaya arsitektur yang sangat cocok untuk mengungkapkan kemegahan kemaharajaan. Seperti Gereja Protestan di pusat kota tua Semarang, gereja Williams di Batavia (sekarang gereja), Balai Kota Medan dan beberapa bangunan di beberapa kota di Hindia Belanda.
Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah) dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal Indische Architectuur sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur Nasional Belanda pada waktu itu. Abad ke 19 perkembangan Indische Architectuur atau dikenal dengan Rumah Landhuis yang merupakan tipe rumah tinggal di seluruh Hindia Belanda pada masa itu memiliki karakter arsitektur seperti :
o Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan) dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya.
o Pilar menjulang ke atas ( gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi depan dan belakang.
o Menggunakan atap perisai.



3.Tahun 1902- 1920- an
Kaum Liberal Belanda pada masa antara tahun 1902 mendesak politik etis diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu pemukiman orang Belanda di Indonesia tumbuh dengan cepat. Indishe Architectuur menjadi terdesak dan sebagai gantinya muncul standar arsitektur modern yang berorientasi ke Belanda.


4. Tahun 1920-an sampai tahun 1940-an
Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda. Aliran baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsurunsur
yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari hujan lebat tropik. Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional (asli) Indonesia sehingga menjadi konsep yang eklektis. Konsep ini nampak pada karya Maclaine Pont seperti kampus Technische Hogeschool (ITB), Gereja Poh sarang di Kediri. Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 1900-1920-an4:
• Menggunakan Gevel ( gable) pada tampak depan bangunan Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel gable, pediment ( dengan entablure).
• Penggunaan Tower pada bangunan Tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian diambil alih oelh bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada abad ke 20. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat, segiempat ramping, dan ada yang dikombinasikan dengan gevel depan.
• Penggunaaan Dormer pada bangunan
• Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis basah
o Ventilasi yang lebar dan tinggi.
o Membuat Galeri atau serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.

V . Arsitektur modern (pasca kemerdekaan)
LATAR BELAKANG

Dalam dunia arsitektur seringkali terjadi perubahan yang selaras dengan perkembangan teknologi, politik, sosial, ekonomi. modernisasi timbul ketika revolusi industri pada tahun 1960-1863. Pada keadaan inilah yang membawa perubahan dalam mayarakat yang akan mempengaruhi pula perubahan dalam arsitektur.
Gagasan modernisme dalam arsitektur dan tumbuh semenjak akhir abad ke19 di Eropa barat yang diakibatkan oleh berbagai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. terjadinya spesialisasi dan terpisahnya dua keahlian, yaitu arsitek dalam hal fungsi; ruang dan bentuk disatu pihak dan akhli struktur dan konstruksi dalam hal perhitungan dan pelaksanaan. Perubahan dalam kebudayaan ditandai dengan style neo clasic yang semakin pudar, menuju ke arah ‘Form follow function’
Ornamen diyakini sebagai suatu kejahatan karena dianggap tempelan dari ukiran dan merupakan kebenaran palsu, yang hal ini diungkapkan oleh Adolf Loos. Kondisi arsitektur modern dipenuhi dengan ambisi, ketegangan, hilangnya referensi lama, dan juga ketergeseran akan nilai kemanusiaan karena adanya industrialistis yang mendominasi kehidupan pada saat itu.

1. PERKEMBANGAN SEJARAH

• Gerakan Avant Garde memberi kehidupan baru dalam teori perencanaan dan pelaksanaan arsitektur. arsitektur modern mengkristal menjadi suatu aliran yang disebut dengan International Style,
• Dalam pandangan arsitektur modern selanjutnya (1910-1940-an) terjadi perubahan dalam pola dan keindahan arsitektur, dimana keindahan muncul semata mata oleh adanya fungsi dari elemen elemen bangunan. Oleh karenanya disebut sebagai aliran arsitektur Fungsionalisme,
• Teori bentuk dan konsep lama baik tentang keindahan dan seni arsitektur masa lalu telah ditinggalkan dengan munculnya aliran Cubism
• arsitektur Kubisme dan Fungsionalisme berkembang sangat cepat di Eropa Amerika bahkan Asia, hal ini sejalan dengan perkembangan budaya , pola pikir dan pola hidup modern masyarakat dalam hal seni, keindahan dan teknologi yang berdasarkan ratio, Progressive Individualistis yang didukung oleh Industrialis Materialistis.
GERAKAN PADA ARSITEKTUR MODERN
Art and Craft movement (Inggris)
• adalah suatu gerakan pada akhir masa
revolusi industri yang mementingkan
komitmen kerja dan keindahan.
Penganutnya menolak estetika yang
dihasilkan oleh produksi secara
massal, yang dianggap sebab utama
hilangnya keindahan individual. Arts
and Crafts Movement berkembang di
Inggris saat paruh akhir abad ke-19.

2. Perkembangan Arsitektur Modern Indonesia
arsitektur Indonesia (modern) pasca kemerdekaan dibagi atas lima periode Yaitu :
a) Periode ini ditandai dengan muncul kota satelit Kebayoran Baro di Jakarta oleh R.Soesilo. Periode ini berlangsung setelah kemerdekaan hingga tahun 1960. Arsitek generasi pertama mendominasi periode ini dengan pengaruh kuat dari aliran Delft. Beberapa arsitek yang muncul dan berkarya pada periode ini adalah :
R.Soesilo dengan karyanya Perencanaan Kota Satelit Kebayoran Baru ( 1948 )
Lim Bwan Tjie (1932-1964)di Semarang
Soehamir, akan tetapi sayang tidak didapatkan informasi tentang karyanya
Soedarsono, dengan karyanya Tugu Monumen Nasional (MONAS) Jakarta
F. Silaban dengan karyanya SPMA, Bogor (1951), Bank Indonesia, Jakarta (1958), Markas Besar AURI, Jakarta (1958) dan Masjid Istiqlal (1965)
Fokus arsitektur pada periode ini lebih kepada bagaimana mengembangkan arsitektur tropis modern Indonesia dengan tradisi berarsitektur modernis rasional sejati.


b) Periode kedua
Periode ini dipelopori oleh generasi Arsitek kedua Indonesia yaitu Suhartono (anak Susilo), Hasan Purbo, dan Achmad Noe’man. Periode ini berlangsung tahun 1960-1970, secara makro merupakan periode pembentukan pendidikan arsitektur di Indonesia, seperti (Prof. Ir.) Hasan Purbo di Institut Teknologi Bandung, (Prof. Ir.) Suhartono Susilo di Universitas Prahyangan Bandung, (Prof. Ir.) Sidharta di Universitas Diponegoro Semarang, (Prof. Ir.) Parmono Atmadi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, (Prof. Ir.) Johan Silas di Istitut Teknologi Surabaya. Terdapat sesuatu yang penting terjadi pada periode kedua ini yaitu kembalinya pada arsitek muda dari pendidikan dan ITB menghasilkan lulusan pertama yang kemudian menggerakkan arsitektur pada periode ini. Arsitek muda ini kemudian bergabaung sebagai generasi kedua Arsitek Indonesia. Beberapa dari mereka yang tersebut dalam periode ini yaitu :
Soejoedi ( karyanya Conefo/MPR/DPR Jakarta ) dan Han Awal dari TU Berlin,1960
Soewondo Bismo Sutedjo dari TH Hannover, 1961
Djauhari Sumintardja ( dari sekolah arsitektur Stockholm, Swedia 1960 )
Hasan Purbo, Suhartono Susilo, Sidharta, Parmono Atmadi, Zaenuddin Kartadiwiria, Wastu Pragantha, Johan Silas, Danisworo, Slamet Wirosanjaya dari ITB
Meletusnya gerakan G30 S PKI mengakibatkan tidak banyaknya karya yang dihasilkan dalam periode ini.
Fokus arsitektur pada periode ini kecenderungan meninggalkan pemikiran arsitektur tropis modern Indonesia yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya dan ketertarikan pada arsitektur tradisional mulai muncul serta menguatnya tradisi berarsitektur modernis rasional sejati.
Periode Ketiga
o Periode ini berlangsung antara tahun 1970-1980 ditandai dengan munculnya orde baru dalam politik Indonesia. Pencanangan pembangunan nasional berjangka (PELITA) yang dibuat penguasa politik pada saat itu membuat iklim rancang bangun bergairah kembali. Periode ini merupakan puncak karya dari generas kedua seperti :
• Han Awal : Konsep Tower in Park pada kompleks Inversitas Atmadjaya, Jakarta
• Soejoedi : Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Kedutaan Prancis dan Sekretariat ASEAN.
• Slamet Wirosanjaya, dikenal sebagai landscape handal.
• Djauhari Sumintardja, menerbitkan buku Kompendium Sejarah Indonesia.

Kemudian para lulusan pertama “pendidikan arsitektur dalam negeri” yang lulus pada tahun 1970-an seperti Robi Sularto, Adhi Moersid, Yuswadi Saliya, Dharmawan, Eko Budiardjo, dan Gunawan Tjahyono muncul sebagai generasi arsitek ketiga di Indonesia setelah dua generasi sebelumnya mencapai puncak karyanya pada periode ketiga ini. Yang menjadi fokus arsitektur pada masa ini adalah pencarian identitas Arsitektur Indonesia dan kebangkitan arsitektur tradisional. Tradisi modernis rasional yang dibawa dua periode sebelumnya mendapat kritikan keras sejalan dengan derasnya arus pemikiran arsitektur dunia.

c) Periode Keempat
Periode ini berlangsung antara tahun 1980-1990, arsitek generasi ketiga mencapai puncak karyanya. Proyek-proyek yang ditangani adalah proyek-proyek yang berskala besar (pemerintah). Periode ini diramaikan juga oleh para arsitek yang juga merupakan produk kedua pendidikan arsitektur dalam negeri, yaitu Josep Prijotomo, Budi Sukada, Bagoes P.Wiryomartono, Baskoro Tedjo, Zhou Fuyuan, Andi Siswanto serta beberapa arsitek lulusan luar negeri yaitu Antonio Ismael, Budiman H. Hendropurnomo, dan Budi Lim. Kemudian beberapa biro-biro arsitek muncul seperti biro arsitek: Atelier 6, Gubah Laras, Encona, Tripanoto Sri, Team 4, Arkonin, dan Parama Loka. Puncak dari karya arsitek pada periode ketiga yang beberapa diselubungi oleh nama besar biro arsiteknya, seperti :
• Atelier 6 dengan karyanya Executive Club Hilton Jakarta, serial Hotel Santika, gedung STEKPI, Hotel Nusa Dua dan Masjid Said Naum (karya terbaik Adhi Moersid).
• Tripanoto Sri, dengan serial arsitektur Keluarga Cendana, kompleks TMII, RS. Kanker Indonesia.
• Y.B. Mangunwijaya dari TH Aachen Jerman, dengan karyanya perumahan di Kali Code
• Yogyakarta, tempat ziarah Sendang Sono, rumah tinggal Arief Budiman di Salatiga
• Gunawan Tjahyono, dengan karyanya Gedung Rektorat UI.
• Yang menjadi fokus arsitektur pada periode ini yaitu keinginan untuk mensenyawakan arsitektur modern dan tradisional dengan penekanan lebih kepada simbol makna dan budaya dibandingkan dengan permasalahan kondisi tropis.


Periode Kelima
Periode ini berlangsung antara tahun 1990-2000, merupakan kondisi kontemporer arsitektur Indonesia dan percepatan peristiwa merupakan karakter yang menonjol pada periode ini. Periode ini ditandai dengan munculnya arsitek muda Indonesia (AMI) : Sonny Sutanto, Marco Kusumawijaya dkk., dan bergabungnya arsitek periode keempat (Josep Prijotomo dkk) dalam periode ini. Beberapa karya yang menonjol periode ini dan mendapat penghargaan yaitu:
• DCM (Budiman, Sonny, Dicky) : Tugu Park Hotel di Malang, Gedung Ford Foundation untuk ASEAN (bekerja sama dengan Gunawan Tjahyono).
• Budi Lim : Urban Infill di Bank Universal Hayam Wuruk dan Konservasi Bank Universal Melawai.
• Thamrin dan Kelompok Kumuh : Gerbang Utara ITB.
• Arcadia (Gatot, Armand dan Tony) : The Condor, Dunia Fantasi Ancol.
Krish Suharnoko, CafĂ© Batavia
• rianto : Kantor Bank Exim Kamayoran.
• Sardjono Sani : Rumah Tinggal Tusuk Sate di Pondok Indah Jakarta.
• Fuyuan : Rumah Pabrik.
• Yori dan Marco K. : Rumah Murah Swadaya Plan International Kupang
Fokus arsitektur pada periode ini lebih kepada pengungkapan tradisi berarsitektur AMI yaitu peningkatan profesionalisme, penjelajahan desain dan kejujuran berekspresi


KLASIFIKASI & CIRI-CIRI : ARSITEKTUR MODERN, PASCA MODERN & PURNA MODERN (CHARLES JENCKS)
No. Modern (1920-1960) Late Modern (1960- ) Post Modern (1960- )
I


D



E



O



L



O



G



I



C



A



L 1 One International Style, or ‘no style’ :
• Bnetuk Model sama dimanapun berada
• Tanpa langgam / gaya Unconscions Style :
• Secara tidak sadar telah memakai langgam / gaya. Double-coding of Style :
• Menggabungkan unsur-unsur modern dengan unsur lain (vernacular, local, komersial, konstektual), juga berarti memperhatikan nilai-nilai yang dianut arsitek dan penghuni atau masyarakat awam
2 Utopian and Idealist :
• Arsitek seakan-akan melaksanakan impiannya memperbaiki realita dan cenderung bersifat memaksakan. Pragmatic :
• Setiap bangunan didirikan untuk tujuan tertentu.
• Tiap bangunan mempunyaiciri khasnya masing-masing.
• Bangunan setujuan mempunyai kemiripan satu sama lain Popular and Popularist:
• Tidak terikat oleh aturan atau kaidah tertentu, tetapi mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
3 Deterministic form, fungtional /D.F.F :
• Syarat utama dari bangunan adalah bangunan mencapai kegunaaan yang semaksimal mungkin.
• Ruang – ruang yang direncanakan sesuai dengan fungsinya.
• Bangunan tidak harus berdiri dari kepala, badan dan kaki. Loose Fit :
• Bentuk yang ditampilkan tidak sesuai dengan fungsi atau kehilangan kecocokannya dengan fungsi. Semiotic Form :
• Bentuk yang ada mempunyai tanda makna dan tujuan sehingga penampilannya sangat mudah dipahami.
4 Zeitgeist :
• Berlatar balakang logika dan keilmuan. Late – Capitalist :
• Berlatar belakang efisiensi dan keuntungan. Tradition and Choice :
• Bentukan yang ada mengandung unsure-unsur atau nilai-nilai tradisi yang penerapannya secara terpilih, atau disesuaikan dengan maksud dan tujuan perancang.
5 Artist as Prophet/healer :
• Arsitek mendudukkan diri sebagai yang maha tahu. Suppressed Artist :
• Arsitek merasa dibatasi / tertekan dan terpaksa untuk memunculkan kreatifitasnya. Artist / Client :
• Arsitektur mengandung dua hal pokok yang menjadi tuntutan perancang. Bersifat seni (intern) dan bersifat umum (ekstern) sehingga mudah dipahami.
6 Elitst / ‘for every man’ :
• Arsitekturnya lebih menonjolkan sikap eksklusif perancangnya yang tumbuh dari keinginan bersama. Elitist Profesional :
• Arsitekturnya lebih menonjolkan sikap eksklusif perancangnya saja. Elitist and Participative
• Arsitekturnya lenih menonjolkan kebersamaan serta mengurangi sikap keangkuhan.
7 Wholistic, comprehensive redevelopment :
• Adanya pemahaman yang menyeluruh dan saling mendukung antar elemen-elemen pembentuk arsitektur. Wholistic :
• Adanya kesatuan antar unsure-unsur pembentuknya. Piecemeal :
• Adanya penerapan unsur-unsur dasar seperti history, vernacular, lokasi, dll
8 Architect as savior/doctor :
• arsitek menempatkan dirinya sebagai penyelamat/penyembuh dari segala permasalahan arsitektur dan yang mempunyai banyak gudang ide. Architect provides service :
• Arsitek menempatkan dirinya sebagai pelayan aau penerjemah ide Architect as representative and activist :
• Arsitek berfungsi sebagai wakil penerjemah ide kepada perencana dan secara aktif berperan serta dalam perancangan
Sumber : Charles Jencks – Vision of the Modern –UIA
VI. ARSITEKTUR POST- MODERN
Pada tahun antara 1960-1970 gerakan arsitektur modern (dikenal dengan nama Modern Movement) mulai memperlihatkan tanda – tanda berakir. Gerakan yang bertahan selama tiga generasi ini telah melewati tiga tahap perkembangan yaiytu early moderernism,high modernism, dan late modernism ( Trachtenberg,1987).
Early modernism diwarnai dengan karya –karya frank LIoyd Wright ( 1959-1989) kebanyakan rumah tinggal .
High modernism yang lahir setelah perang dunia kedua 1 di isi oleh arsitek –arsitek besar yang pindah dari Negara asalnya ke amerika serikat. Yaitu Ludwig mies van der rohe , le Corbusier, dan walter Gropius, mereka dikenal denagan arsitek avant garde.
Late modernism lahir setelah perang dunia kedua , ditandai dengan bangunan pencakar langit ( sky craper ) dengan melibatkan teknologi canngih (hi –tech) . arsitek yang terkenal pada periode ini adalah hugh stubbins , I.M pei dll.
Berakirnya arsitek modern ini diawali dengan di hancurkanya -lgoe housing di kota ST LOUIS , bagian Missouri , amerika serikat, pada tanggal 15 juli 1972 jam 15.32 9 (jenks, 1984). Kegagalan bangunan tersebut membuktikan bahwa dasar filosofi dan teori arsitektur modern sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zamazn .doktrin-doktrin seperti rasionalisme, behaviorisme dan pragmatisme dinilai sudah tidak rasional lagi.
VI. I lahirnya Arsitektur post- modern
Istilah post –modern sebenarnyanya sudah dikenal sejak pertengahan tahun 1970-an , tidak hanya di dunia arsitektur tapi juga pada dunia seni lukis , tari , patung , film, dan bahkan ideology. Pad a dasarnya post-modern merupakan reaksi (anti-thesis) dari modernisme (thesis) yang sudah berjalan sangat lama . Irwing howe menggambarkanya the radikal breakdown of the modernist,” jadi keduanya memang tidak biasa di pisahkan satu dengan yang lain
Charles jenks seorang tokoh pencetus lahirnya post-modern menyebutkan adanya 3 alasan yang mendasari lahirnya post modernism yaitu :
1. Kehidupan sudah berkembang dari dunia serba terbatas ke desa –dunia ( world village)yang tanpa batas .
2. Canggihnya teknologi telah memungkinkan produk-produk yang bersifaf pribadi ( personalissed production). Lebih dari produksi missal dan tiruan missal ( mass production and mass repetition ) yang merupakan cirri khas modernism.
3. Adanya kecenderunagan manusia kembali kepada nilai-nilai tradisional (tradisionalvalues) atau daerah , sebuah kecenderungan manusia untuk menoleh ke belakang .
Dengan demikian , Aritektur post –modern adalah pencampuran antara tradisional dengan non tradisional , gabungan modern dengan setengah non modern perpaduan antara lama dan baru . Arsitektektur post-modern mempunyai style yang hybrid (perpaduan dua unsure ) sering di sebut sebagai double coding.


VI.II Ciri- cirri Aliran yang berbekembang
Dua ciri pokok Arsitektur post-modern adalah anti rasionalisme dan neo –sculptural, barbed dengan Arsitektur modern yang rasional dan fungsional . cirri-ciri bangunan yang sculptural sangat menonjol karena di hiasi dengan ornament –ornamen baroque dan renaissance . Budi sukada (1988) menyebutkan ada 10 ciri arsitektur post- modern , yaitu;
1. Mengandung unsure –unsur komunikatif yang bersifat lokal atau popular
2. Membangkitkan kembali kenangan historic
3. Berkonteks urban
4. Menerapkan kembali teknik ornamentasi
5. Bersifat representasional
6. Berwujud metafori ( dapat berarti bentuk lain
7. Dihasilkan dari partisipasi
8. Mencerminkan aspirasi umum
9. Bersifat plural
10. Bersifat ekletik
untuk dapat dikategorikan sebagai Arsitektur post-modern tidak harus memenuhi kesepuluh cirri diatas.
Sebuah karya arsitektur yang mempunyai enam atau tujuh cirri di atas juga dapat di kategorikan ke dalam arsitektur post- modern .
Aliran –aliran post-modern di bedakan berdasrkan konsep perancangan dan reaksi terhadap lingkungan .di dalam evolutionary tree-nya , Charles jenks mengelompokkan arsitektur menjadi 6 (enam) aliran. Aliran-aliran ini menurutnya sudah dimulai sejak tahu 1960-an . ke enam aliran tersebut adalah:
1. Historicism
Pemakaian elemen –elemen klasik ( misalnya ionic, Doric , dan Corinthian ) pada bangunan , yang di gabungkan dengan pola-pola modern .
Contoh: aero Saarinen Philip Johnson, Robert venturi
2. Straight revivalism
Pembangkitan kembali leggam neo klasik ke dalam bangunan yang bersifat monumental dengan irama komposisi yang berulang dan simetris .
Contoh:aldo rossi , monta mozuna Ricardo bofil, Mario botta
3. Neo-vernacularism
Menghidupkan kembali suasana atau elemen tradisional dengan mebuat bentuk dan pola bangunan lokal.
4. Contextualism ( Urbanist + Ad hoc)
Memperhatikan lingkunagan dalam penempatan ligkunan sehingga komposisi lingkunan yang serasi . Aliran ini sering juga di sebut dengan urbanism. Contoh: Lucien kroll, leon krier, james srirling.
5. Metapor & metapshisical
Mengekspresikan secara eksplisit dan implicit ungkapan metafora dan metafisika (spiritual) ke dalam bentuk bangunan
Contoh: Antonnio gaudi , Stanley tigerman , mimoru takeyama .
6. Post modern space
Memperlihatkan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan kmponen banguna itu sendiri.
Contoh: Peter eisenmeson , Robert stern, Charles more, khon, Pederson _Fox.
Kesimpulan
Arsitektur post modern mempunyai dua muka berbeda masing-masing mempunyai arti ( dual –coding atau mixture of meaning. Ia mewakil dua kutub yang berbeda :
Kaum populis dan eletis , romantic dan modernist, yang mempunyai dua bahasa yang berbeda dan masing-masing mempunyai barti yang berbeda pula . melalui unsure komunikasi dalam arsitektur post modernarsitek menjadi lebih dekat dengan konteks geografis dan budaya setempat sehingga masyarakat tidak asing dengan lingkungan binaanya sendiri.

Daftar pustaka
Gideon, S, space, time, and Arsitecture, Harvard university press, Cambridge, 1982.jenks, Charles, The language oe post-modern Architecture, rozolli, new york

1 komentar:

  1. artikel yang menarik dan tentunya menambah pengetahuan saya tentang sejarah-sejarah arsitektur di Indonesia, tapi mohon maaf sebelumnya mengutip kata-kata "(Prof. Ir.) Johan Silas di Istitut Teknologi Surabaya" mungkin dapat dibenahi bahwa ITS adalah singkatan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember. bisa dilihat di its.ac.id. terima kasih banyak sebelumnya dan terus bikin artikel seperti ini :)

    BalasHapus